PENANAMAN NILAI PANCASILA MELALUI TRADISI TAHLILAN



Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang bisa menyatukan bangsa yang majemuk. Pancasila telah menjadi falsafah hidup dan kepribadian bangsa Indonesia yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma luhur dan diyakini paling sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila sebagai idiologi bangsa dan pedoman dalam bernegara diharapkan dapat diamalkan pada setiap lini kehidupan masyarakat.

Demkian hendaknya setiap prilaku pada seluruh warga negara Demikian juga, setiap perilaku rakyat hendaknya mengacu pada nilai-nilai dan norma-norma yang telah tertuang dalam sila-sila Pancasila. Semangat Pancasila hendaknya bisa menanamkan sifat patriotisme dan nasionalisme pada setiap individu bangsa, demi terciptanya bangsa yang kokoh dan mewujudkan cita-cita luhur bangsa ini. Salah satu alasan mengapa Pancasila dijadikan dasar negeri ini, di antaranya sebagaimana yang disampaikan oleh Soekarno bahwa kebudayaan Indonesia merupakan kandungan Pancasila yang dilahirkan. Atau dengan istilah lain, Pancasila adalah saripati yang bersumber dari kebudayaan asli Indonesia. Oleh karenanya, banyak budaya-budaya dan tradisi masyarakat terdahulu yang menjadi cermnan nilai-nilai Pancasila di dalamnya, salah satunya adalah tradisi tahlilan di kalangan nahdliyin. Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Tradisi Tahlilan yang diajarkan di madrasah antara lain sebagai berikut;

Pertama, nilai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tahlilan sebagai tradisi yang dibawa oleh Walisongo dengan muatan agamanya telah cukup mewakili pengamalan sila pertama. Ketika membaca surat Al ikhlas ayat pertama yang artinya "Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa." Berarti kita sudah mengamalkan nilai-nilai dari Pancasila sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kedua Pengamalan nilai Pancasila Kemanusiaan yang adil dan beradab diisyaratkan dengan mengundang seluruh tetangga untuk bersama-sama membaca tahlil tanpa membedakan status dan derajat. sikap saling berbela sungkawa atas kematian almarhum, berusaha menghibur para ahli waris dengan ikut menghadiri tahlilan di rumahnya sehingga keluarga yang ditinggalkan tidak merasa kesepian. Hal ini menunjukkan simpati terhadap keluarga yang berduka. Selain itu, penyambutan yang hangat dari tuan rumah disertai senyuman yang menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati sesama manusia. Dan itu semua sudah mewakili pengamalan dari nilai sila kedua dari pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Ketiga Pengamalan sila Persatuan Indonesia dapat ditunjukkan ketika jama’ah membaca dzikir, do’a dan makan bersama dalam acara tahlilan. Tahlilan adalah cermn dari persatuan bangsa. Tahlilan adalah sarana guyub rukun yang paling ampuh untuk warga. Tahlilan telah mampu menyatukan si kaya dan si miskin, seorang pejabat dan seorang buruh, dosen dengan mahasiswanya, bahkan menyatukan orang- orang dari berbagai daerah dalam satu majelis. Dengan satu tekad dan satu tujuan yang sama semua warga berkumpul untuk bersama-sama mendoakan almarhum agar diampuni dosanya dan diterima amalnya. Demikian juga dengan tahlilan mencerminkan asas Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dengan menerima dan ikut mengundang tetangga baik yang baru maupun warga yang sudah lama tinggal di masyarakat tempat tahlilan diadakan. Bahkan mungkin ada warga yang berasal dari berbagai suku, daerah, dan budaya yang beragam. Hal ini juga sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran pada surat Al Hujurat ayat 13 yang intinya bahwa keberagaman penciptaan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah untuk saling mengenal.

Keempat pengamalan sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Pada sila keempat ini pengamalan Pancasila ditunjukkan pada Imam tahlilan adalah seorang pemimpin yang dipilih melalui musyawarah. Sebagamana diketahu bersama bahwa tahlilan berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Dengan melibatkan beberapa unsur dari lapisan masyarakat yang termasuk di dalamnya seorang Kiai ataupun ustadz yang telah disetujui dan disepakati bersama untuk memimpin pelaksanaan tahlilan dari awal sampai akhir.

Nilai pengamalan sla ini juga dapat kita lihat dalam pelaksanaan tahlilan, dimana setiap anggota yang mengikuti acara tahlil harus mengikuti apa yang dibacakan pemimpn yang membacakan tahlil. Jika pemimpn membaca dengan cepat maka yang lain juga membaca secara cepat begitu juga sebaliknya jika pemimpin membaca dengan lambat maka pengikutnya juga membaca dengan lambat. Tidak patut bila ada anggota tahlil apabila ingin cepat selesai membaca capat sendiri tanpa mengikuti bacaan imam tahlil. Di pelaksanaan tahlil inilah konsep demokrasi terpimpin bisa kita lihat. Dimana dalam prosesi tahllan jamaah menyepakati perwakilan dari mereka untuk menjad pemimpin jalannya tahlilan dari awal sampai akhir.

Kendati demikian, sesekali pimpinan tahlilan akan meminta pendapat kepada para jamaah atau tuan rumah, misalnya ketika hendak memulai biasanya Imam akan menanyakan kepada jamaah dan tuan rumah apakah tahlilan sudah bisa dimulai atau masih menunggu beberapa jamaah atau tamu undangan lainnya. Begitupun juga, sebelum jamaah dibubarkan, biasanya Imam akan memusyawarahkan kembali apakah masih ada yang mau disampaikan oleh tuan rumah.

Kelima pengalamal sila Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia. Ditunjukkan dalam bentuk pemberian berkat kenduri. Semua jama’ah mendapatkan berkat yang sama, meskpun strata sosial ada yang berbeda. Dalam banyak bidang, mungkin keadilan semakin langka dan jarang kita temui. Namun berbeda dengan tradisi tahlilan. Tahlilan memegang tinggi asas keadilan, hal ini bisa kita lihat ketika pada penempatan tempat duduk. Bisa dipastikan tidak ada perbedaan tempat dudukyang disediakan tuan rumah untuk para undangan yang hadir. Semua duduk dengan lesehan di atas tikar atau lantai yang sama. Tidak memandang seorang yang berpangkat ataupun rakyat jelata. Bahkan mungkin seorang sopir, kyai, dosen, guru, petani berbaur menjadi satu dan duduk di bawah dengan warga yang lain.

Ditambah dari segi makanan atau suguhan yang dihidangkan. Semua merata baik dari segi ukuran, jenis makanan dan banyaknya. Tidak ada perbedaan makanan untuk para undangan kelas ekonomi, kelas eksekutif, atau kelas VIP. Dalam tahlilan semua orang mendapatkan makanan dan berkat yang adil, baik yang warga asli ataupun yang mahasiswa pendatang. Oleh karena itu tidak ada ceritanya warga protes karena tempat duduknya disendirikan atau makanannya dibedakan dengan yang lainnya. Maka inilah sebenarnya bentuk pengamalan sila kelima.

H.Mulyono, S.Pd, M.Pd.I Guru PPKn MTs Nahdlatusy Syubban Sayung Demak